Selasa, 30 September 2014

Menuntaskan 10 Puncak Tertinggi Bali (Chapter Gn. Tapak)

"Sekali-sekali keluar dari zona nyaman itu menyenangkan..."

SOLO HIKING GUNUNG TAPAK 1.890mdpl
BEDUGUL, BALI
28 September 2014

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Hutang yang belum lunas...
Begitu yang kutulis di wall fbku beberapa hari silam.
Masih tersisa 4 gunung lagi yang masuk daftar 10 gunung/puncak tertinggi Bali. Salah satunya adalah Gunung Tapak. Berada di daerah Bedugul, di belakang area Kebun Raya Eka Karya yang biasa dijadikan tempat tujuan wisata bagi mereka yang mengunjungi Pulau Bali. Rasa penasaran dan ingin tahu yang sangat besar membawa anganku untuk melihat indahnya gunung tersebut lebih dekat.
 A little piece of Gunung Tapak
Informasi tentang Gunung Tapak sudah banyak, tetapi kurang populer di kalangan pendaki karena lazimnya hanya peziarah makam keramat yang datang kesana. What? Makam keramat?
Yap, menurut informasi, di puncak gunung ini terdapat makam keramat seorang penyebar agama Islam di Bali yang termasuk dalam Wali Pitu (tujuh).

Setelah mencari informasi dari kawan-kawan dan karena tidak ada kawan yang mau/bisa diajak naik, akhirnya saya memutuskan untuk naik sendiri melalui jalur Kebun Raya Eka Karya Bedugul.
Kedengarannya nekat, tapi masuk akal koq menurut saya. Karena hanya soal persiapan, nyali dan keteguhan tekad. Sisanya serahkan kepada Yang Maha Kuasa.
"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa"

08.30 WITA - Denpasar menuju Bedugul
Berangkat dari Denpasar pukul 8.30 WITA, melewati jalur Denpasar-Bedugul, saya tiba di Bedugul pukul 10.20 WITA. Berhenti sebentar untuk membeli logistik kemudian masuk ke area parkir Kebun Raya.
Setelah membayar parkir Rp2.000 dan karcis masuk Kebun Raya seharga Rp7.000, saya mulai menuju area paling belakang area rekreasi.
Kebun Raya Bedugul
Sempat bingung saat di persimpangan jalan di ujung kebun raya, dan bingung juga mendengar penjelasan teman saya via telpon. Saya memutuskan bertanya kepada penjaga, jalur untuk menuju puncak. Petugas tersebut berbaik hati memberitahukan arahnya dan sempat menanyakan apakah saya akan naik kesana. Saya jawab dengan enteng, bahwa saya naik untuk menyusul kawan yang naik lebih dulu (dalam hati berkata, kawan saya naik Rinjani dan saya naik kesini sendiri, kalau ketahuan naik sendiri mungkin akan dicegah, hihihi...)

10.50 WITA - Start Pendakian
Dari persimpangan itu ke kiri sedikit kemudian, saya temukan papan penunjuk jalur. Mudah saja menuju puncak gunung ini, tinggal mengikuti jalur yang sudah tertata rapi dan papan penunjuk arah yang disertai jarak tujuan, begitu informasinya. Saya mulai menghidupkan GPS dan mulai untuk merekam data aktivitas dan trek pendakian memakai aplikasi Oruxmaps.
Papan penunjuk arah
Perlahan jalan paving ini berubah menjadi jalan tanah khas hutan tropis setelah melewati pondok penjaga KSDA. Tidak sulit, namun di beberapa bagian terdapat tanjakan yang curam.
di awal-awal jalur
Berjalan sendirian di tengah hutan serasa gunung milik sendiri. Terkadang ada sedikit rasa was-was saat terdengar suara gemerisik dari arah yang tidak diduga-duga. Bukan takut terhadap binatang, hantu, dan sebagainya, tetapi lebih khawatir terhadap batang atau ranting pohon yang jatuh tiba-tiba seperti kejadian di Gunung Catur/Pucak Mangu.
Rumor tentang masih eksisnya harimau Bali yang menurut warga pernah terlihat di daerah Tamblingan juga tertepis, karena saya tidak melihat sedikit pun tanda-tanda keberadaan binatang tersebut.
beberapa tanjakan diberi bantuan tali
Trek mulai semakin curam, beberapa bahkan ada yang mencapai kemiringan 75 derajat. Untung di kanan kiri jalur diberi tali tambang, sehingga memudahkan untuk mendakinya. Diiringi suara burung-burung, bahkan terkadang terdengar suara burung hantu, saya terus mengikuti jalur setapak yang setiap 100 meternya ada papan penanda jarak tempuh.
Sepanjang perjalanan saya hanya melihat sedikit sampah. Mungkin rasa kepedulian terhadap alam mereka (pada pendaki) tinggi atau apalah, yang penting saya suka melihatnya.
Bahkan jauh lebih bersih daripada Gn. Batukaru yang terlihat lebih sepi namun sampahnya berserakan.
matahari masih setia menemani
Hampir 30mnt berjalan, rasanya saya mendengar suara manusia, tetapi karena tidak terlihat keberadaan manusia, saya pikir itu hanya gaung suara orang-orang yang melakukan outbond di bawah sana. Kemudian saya melihat ada bekas jejak sepatu yang samar. Kelihatannya bukan jejak sepatu gunung, dan sepertinya tidak membawa beban berat. Atau mungkin jejak 1-2 hari yang lalu, begitu pikir saya. Ah, kelihatannya saya tidak benar-benar sendiri kali ini...
jalur bonusan

relatif bersih
beberapa menit kemudian, akhirnya saya mendapatkan bukti bahwa saya tidak sendiri naik gunung ini. Terlihat di atas sana, ada dua orang bule asal Jerman yang sudah lebih dahulu mendaki dari saya. Kami bertemu beberapa ratus meter sebelum puncak. Wah, ternyata bule bisa ngos-ngosan juga mendaki gunung yang relatif rendah seperti gunung ini, begitu pikir saya. Saya minta ijin untuk mendahului setelah chit-chat sedikit dengan mereka.

11.50 WITA - Summit
Hampir 1 jam berjalan dari kaki gunung, ternyata saya sudah sampai di puncak. Di puncak terlihat seseorang yang ternyata adalah penjaga makam. Berkeliling-keliling sebentar melihat area sekitar sini, kemudian duduk santai sambil menikmati logistik.
Puncak Gn. Tapak
1.890mdpl begitu yang tercatat di GPS. 1 jam lebih cepat dari informasi kawan yang pernah kesini sebelumnya. Hening dan sunyi di puncak ini. Tidak terdengar suara gaduh dari bawah (Kebun Raya), hanya suara hewan-hewan sekitar sini yang memenuhi rongga telinga. Terkadang beberapa burung bahkan terbang melewatiku.
Belakang makam
Bangunan makam
Dua orang bule itu pun tiba dan kami pun mulai saling tanya jawab. Dengan bahasa Inggris yang pas-pasan saya berusaha menanggapi pertanyaan dan bertukar pikiran dengan mereka.
Dimulai dari pertanyaan mengapa saya mendaki sendiri sampai keluhan mereka tentang mahalnya ongkos guide gunung Agung.
Sempat ditawari buah naga yang mereka beli seharga Rp25.000/buah, yang menurut saya harganya kemahalan, namun saya menolaknya.

Clara dan Benhard

Penampungan air hujan
Setelah itu saya berkeliling dan ngobrol sedikit dengan penjaga makam sini. Ternyata dia berasal dari Singaraja dan sudah lama tinggal di gubuk belakang makam untuk menjaga makam. Dia pun mengaku mendapat makanan dari peziarah yang biasa datang kesini membawa makanan. Untuk air bersih kelihatannya agak sulit, karena air dalam penampungan sudah keruh.


Terlihat Gn. Lesung di balik kabut
Terdapat pondokan
Pemandangan kurang begitu terlihat karena kabut masih menyelimuti daerah bedugul. Namun samar-samar tampak gunung di sekitar sini. Mulai dari Lesung, Pohen, hingga Gunung Catur di sebelah timur.
Cukup merasa puas di puncak dan setelah mengambil foto-foto saya memutuskan turun sendiri lagi, karena dua orang bule tersebut sudah turun lebih dulu.
self shutter karena ga ada yang motoin
12.45 WITA - Kembali ke Kebun Raya
Sekitar 15mnt berjalan turun, saya bertemu seorang peziarah makam yang membawa rombongannya untuk menuju makam keramat diatas. Benar saja, beberapa ratus meter setelah bertemu orang tersebut, saya bertemu beberapa orang yang sedang terengah-engah menapaki jalur ini.
Ternyata gunung lebih ramai daripada mall saat jam 12 malam, hahaha...
tanaman hutan tropis mendominasi

tampak desa baturiti
Setelah bertemu mereka, kembali saya turun bersama kesendirian. Mempercepat langkah agar segera sampai dibawah untuk ISHOMA. Saya malah berpapasan lagi dengan dua orang bule tersebut.
Kami berpamitan di kaki gunung dan menempuh jalan masing-masing. Rasanya seperti tidak disangka, dibalik keramaian Kebun Raya dengan riuh rendahnya suara orang, tersimpan suatu tempat yang sunyi dan asri. Semoga hal ini dapat terjaga agar kelak anak cucu kita masih merasakan hal yang sama dan bukan hanya dongeng belaka.


Track log Gn. Tapak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar